Jumat, 29 Juni 2012





 " Doa Sang Guru Di Ujung Senja " 




Bahwa syukur yang sejati adalah sikap senantiasa mengembangkan diri atas potensi yang di anugerahkan Sang Kuasa. Bukan berhenti begitu saja.


Pembaca yang berjiwa besar, Alhamdulillah nih akhirnya saya nge Blog. Sebenarnya sudah lama ingin nulis. Setiap kali melek mata, kerja di kantor, mau tutup mata yang ada cuma pengen nulis. Yap menuliskan curhatan teman, pengalaman pribadi, serta fakta-fakta  yang saya dengar , lihat dan rasakan.

 Maklum namanya juga passion jadi ya selalu menggebu dan ga bisa cuma sekedar buat sampingan. Saya suka mengemas tulisan dalam bentuk cerpen supaya tidak terlalu vulgar


Okee... yuk mulai, cerpen pertama " Doa Sang Guru Di Ujung Senja " . Semoga menginspirasi.. Bismillah....




" Doa Sang Guru Di Ujung Senja " 


Seperti biasa, aku duduk di bangku coklat bersebelahan dengan istriku. Dari barat sisa-sisa oranye matahari masih membelai lembut kulit tua kami. Membuat pipi kami sedikit silau. Sementara sepoi angin sore masih terasa juga menyejukkan leher kami. 


Ada bau wangi bunga-bunga di taman ini yang mengiringi cerianya Afifah cucuku yang berlarian mengejar kupu-kupu. Aku dan Aisyah istriku, tersenyum bahagia melihat keriangan bocah itu.


Aku adalah seorang guru sekolah dasar, usiaku menginjak 55 tahun. Berarti sudah sekitar 30 tahun lamanya aku menjalani profesi yang nyaman tentram sebagai seorang guru. Aku sangat bersyukur walau gajiku pas-pasan , namun pekerjaan sangat sesuai dengan apa yang aku harapkan. Tidak banyak tekanan di sini, berangkat pagi memberikan materi yang sudah sangat kuhapal pada para siswa, lalu pulang lagi di sore hari dan disambut keluarga yaitu istri tercinta yang penurut dan penuh kasih sayang. Dibelainya aku dengan lembut menenangkan dari sedikit pegal -pegal kecil, dan menghangatkan dengan teh ternikmat yang ia buatkan untukku. Aku juga memiliki anak tunggal bernama Hendra, seorang anak penurut dan tidak neko-neko selalu ranking pertama dan sering mendapat beasiswa . Sekarang bekerja sebagai staff administrasi di sebuah perusahaan di Bandung dan sudah punya satu anak berusia dua tahun yakni Afifah.

Sungguh aku sangat bersyukur bisa berkecukupan dan merasa sangat nyaman dengan hidupku , bersama istri , anak dan cucu yang sangat aku sayangi.


Sudah dua bulan ini, aku selalu mengajak Aisyah dan Afifah menikmati senja di taman di dekat kompleks rumah tepatnya di wilayah Lengkong Besar, Bandung.

Aku dan Aisyah duduk memandangi bunga-bunga, capung, kupu-kupu sembari mengamati Afifah berlari-lari ceria di sana.


Begitulah kebiasanku akhir-akhir ini. Kebiasaaan yang selalu sama seperti yang kulukiskan tadi. Sampai pada kemarin sore aku tidak lagi duduk berdua bersama Aisyah. Istriku itu sedang asyik menemani Afifah, dan disebelahku duduklah sahabat lama ku bernama Lukman.


Lukman adalah sahabat seperjuangan saat kuliah di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu  Pendidikan ) Negeri Yogyakarta 25 tahun lalu. Kami ini sama-sama perantau yang berjuang hidup memenuhi biaya makan dan biaya kuliah. Aku anak penjual gorengan dari Bandung, sedangkan Lukman anak pembuat tempe kedelai dari Magelang. Bedanya adalah Lukman orang yang sangat aktif ikut berbagai organisasi, sedangkan aku hanya sama dengannya dalam hal sibuk kerja paruh waktu untuk mendapatkan uang. Lukman sambil berjalan diatas sepatu butut yang membuat kakinya itu terasa sakit selalu saja mengoceh tentang impiannya menjadi kaya raya dan bisa membangun yayasan pendidikan. Dia sudah memetakan hidupnya secara berjangkan limat tahunan sampai akhirnya muncul target dia meraih mimpi itu di usia 30 tahun. Kala itu aku hanya memandangnya sebagai orang sinting yang kadang takabur, membual dan sok mengambil risiko. 
Mana ada anak pembuat tempe yang beli sepatu saja tidak mampu bisa jadi pemilik yayasan, mimpii kali yeee... kalau jadi guru iya lah kan kuliahnya di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu  Pendidikan ). hehehe

Kami lulus bersama dari IKIP, lalu kompakan jadi guru SD di Bandung. Sampai pada tahun kedua jadi guru, dia mengajak ku nekat ikut program jadi pengajar di pedalaman.

”Ayolah Taufan.... kita pergi merantau mumpung kita ini masih bujangan. Lihat lah di sini sudah banyak guru-guru baru yang juga hebat yang bisa mengajar murid-murid dengan baik juga. Biarlah regenerasi itu ada. Dan kita pergi untuk  kontribusi yang lebih besar dan menantang. Ayolah Taufan...di seberang laut sana anak- anak yang tidak tahu ke sekolah harus pakai seragam sedang menunggu kita. Menunggu kita untuk untuk membantunya selamat dari nasib sekedar penambang emas sakit-sakitan menjadi profesional hebat yang ditunggu negeri kita. Akan ada pemimpin –pemimpin dari populasi itu, dokter-dokter bebas mallpraktek, insinyur canggih serta entrepreneur yang mengimpor TKI (Tenaga Kerja Inggris ) dan TKW ( Tenaga Kerja Washington ) untuk menjadi karyawannya. Ayolah Mohammad Taufan Gumilar....”


Kala itu aku sungguh ingin berangkat. Hatiku tergerak. Aku juga punya darah juang, darah muda seperti yang tersirat di nada ajakan Lukman. Tapii.. waktu tidak bisa menunggu keraguanku. Lukman segera berangkat mengejar jadwal program pengajar itu dan aku tetap tinggal menjadi guru di SD.


Dan setelah bertahun lamanya, kini ia kembali datang di kehidupanku.

Setelah sebelumnya aku melihat profile nya dimajalah sekolah. Ia sudah berhasil meraih jejak-jejak peta hidupnya. Seorang pejuang muda yang dipercaya seorang petinggi negeri 25 tahun lalu untuk mengemban amanah menjadi seorang pengajar di pedalaman. Yang ternyata juga berbisnis untuk mengembangkan pundi- pundinya. Karena pada faktanya hanya dengan uang lah batu bata bisa di beli untuk mendirikan sekolah- sekolah kokoh dan aman untuk anak-anak belajar.


Aku bercerita tentang kehidupanku selama menjadi guru di sini. Kehidupan nyaman dan bahagiaku melalui pekerjaan rutin yang stabil, suka cita, dan mencukupi keluarga. Aku sangat Bersyukur.  Lukman berkaca-kaca , ia tampaknya bangga.... ia melihat mataku... dalam..tajam..merasuk...lalu menepuk nepuk pundakku sembari berkata : 
“ Aku salut padamu kawan...kau seorang pengabdi hebat. Setidaknya jutaan manusia kau beri ilmu dan pasti sukses di luar sana. “

Aku tersenyum menerima pujiannya.


Lalu detik berikutnya aku balas bertanya ingin tahu kegiatan apa yang tengah ia lakukan di Bandung.

“ Aku kesini untuk mengambil 2 orang tak mampu yang akan aku jadikan siswi beasiswa penuh di Yogyakarta. Kebetulan aku membuka sekolah baru di sana. Salah satu anak ini, tidak bersekolah karena orang tuanya lebih butuh tenaganya jadi penjual gorengan untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Yang satu lagi sudah bersekolah , berasal dari keluarga tidak mampu , tapi punya potensi luar biasa yang bisa aku kembangkan di sekolahku.”

Lukman menjelaskan dengan suara bijaknya.

” Oh ya ? Lantas siapakah dua bocah itu ? Dimana ia tinggal Man ?” Tanyaku antusias.

“ Yang pertama Mega, yang kedua Syahrini, keduanya tinggal di komplek ini juga di jalan rana,  di rumah kecil sangat sederhana.”


Tuhaaannn... Ya Rabb... Astaghfirullah.... kali ini ak gantian yang menatap mata Lukman dengan sangat dalam, dan mataku berkaca- kaca . Hatiku tertusuk saat mendengar penuturan terakhir Lukman.


Ya, aku mengenal dua bocah itu. Mega adalah tetanggaku, sedangkan Syahrini selain tetangga juga muridku. Ada apa ini ? Mengapa perasaanku jadi aneh. Aku menyandarkan punggung ke bangku. Wajahku kini sedikit tertunduk, aku mengalihkan mata dari memandang Lukman lalu memandang rerumputan di bawah sana. Yang terbayang di otakku, adalah saat beberapa lalu aku menceritakan tentang betapa bersyukurnya aku dengan kehidupan serba berkecukupan ini. Sekarang muncul suara-suara di otakku....bertanya apakah aku benar – benar bersyukur ? Apakah ini wujud dari sikap syukur ? Atau aku hanya terjebak di sebuah zona nyaman? Dimana aku takut untuk melangkah, lalu menutup pasrah dan menyerah dengan berkedok pada kata syukur yang terdengar amat mulia. Padahal salah penerapaannya.

 Tidaaakk...ini bukanlah syukur , ini benar- benar sebuah tirai tempat bersembunyi dari rasa malas, malas dan takut dan enggan untuk keluar dari zona nyaman. Aku terjebak dalam zona nyaman sampai- sampai dua bocah dipelupuk mata yang perlu mendapat uluran tangan saja aku buta terhadapnya. Aku buta karena terlalu menikmati jebakan ini, di saat aku mencukupkannya dengan batasan dinding rumah dan hanya dinikmati keluarga. Keegoisan ini muncul hingga mengulurkan tangan pada orang yang paling dekat di luar dinding keluarga pun tidak.


“There is no growth in comfort zone and there is no comfort in growth zone. I must leave my comfort zone to grow”. Muhammad Assad


 Begitulah tulisan di lintingan kertas yang kutemukan di kelas kemarin siang, yang sekarang aku yakin itu tulisan Syahrini , entah dia dapat kutipan itu dari mana, yang jelas sekarang aku tahu bocah kelas tiga SD  itu punya potensi besar dalam bahasa Inggris.


Seharusnya aku sadar... Tuhan telah mengkaruniakan kesehatan fisik, dan kecerdasan akal yang tak  terkira jumlahnya. Bila aku tidak memaksimalkannya bukankah sudah jelas aku menyalahi anugerah Tuhan?


Lalu apa bukti konkrit dari kalimat bijak yang sering ku tulis di papan tulis untuk di baca para murid “ Sebaik- baiknya orang adalah yang bermanfaat untuk orang lain “

Bila kutanyakan pada ribuan orang tentu mereka menjawab aku telah bermanfaat untuk banyak orang. Termasuk Lukman yang terang-terangan memujiku sebagai pengabdi yang hebat.


Tapi.. ini bukan tentang tanggapan orang yang sekilas.
Ini tentang pertanggungjawabanku dengan diriku sendiri, tertinggi lagi pada Sang Kuasa.
Tentang tersadarnya aku yang menyalah gunakan  kemuliaan kata syukur. 

Bahwa syukur yang sejati adalah sikap senantiasa mengembangkan diri atas potensi yang di anugerahkan Sang Kuasa. Bukan berhenti begitu saja.

Aku.... mungkin tidak menyadarinya... saat menjelaskan di depan kelas.... Syahrini  mungkin sedang memperjuangkan perut perihnya yang keroncongan , mungkin ia berkata “ Bapak...saya lapar...”. Mungkin pikirnya sedang melayang ke rumah dan ia pun menjerit dalam hati.. “ Bapak.. adik saya terbaring sakit di rumah. “ Dan mungkin saat ia mulai menulis dalam bahasa Inggris ia juga berkata “ Bapak... kemarilah sejenak ke bangku saya... lihat apa yang saya tulis , hasil mempelajari buku grammar loakan “


Aku... mungkin tidak menyadarinya... saat setiap sore berbagi bahagia bersama Aisyah dan Afifah.. Mungkin Mega lewat melihat kami sembari menyunggi baskom berisi gorengan di kepalanya, lalu ia berkata dalam hati “ Bapak...saya juga ingin bersantai setiap sore seperti keluarga bapak...”


Begitulah dan begitulah hingga akhirnya saya menangis tersedu- sedu. Sesaat lalu saya menceritakan Mega dan Syahrini kepada Lukman. Ia sangat mengerti persaan saya.

Ia menenangkan saya dengan tepukan – tepukan di pundak dan berulangkali mengucapkan bahwa saya pengabdi yang hebat . Sejujurnya julukan itu lebih tepat diberikan untuk Lukman.


Tapi... sekali lagi ini bukan tentang tanggapan orang yang sekilas. Bukan tentang pujian Lukman yang membesarkan hati saya.

Ini tentang pertanggungjawabanku dengan diriku sendiri, tertinggi lagi pada Sang Kuasa.

Tentang tersadarnya aku yang menyalah gunakan  kemuliaan kata syukur. Bahwa syukur yang sejati adalah sikap senantiasa mengembangkan diri atas potensi yang di anugerahkan Sang Kuasa. Bukan berhenti begitu saja.


Aku memeluk Afifah.

Lalu di senja yang berbeda dengan senja- senja sebelumnya, aku membisikkan kalimat yang belum dimengerti bocah 2 tahun itu. Sebuah doa. 

“ Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Keluarlah dari zona nyamanmu. “

Semburat kilau senja yang menenangkan, bunga-bunga harum yang tertiup angin serta kupu- kupu yang beterbangan di atas kepala Afifah seolah mengamini apa yang aku ucapkan.


Dan yakinlah aku kalau TUHAN  PASTI MENGABULKAN. 












Dialog Adik dan Kakak





Bahwa LEADER yang sesungguhnya adalah seseorang yang bisa MENGEMBANGKAN orang lain yang berada di atasnya,  di bawahnya , terutama di kanan kirinya... bila hal  itu tidak terjadi.. maka Ia hanyalah orang yang ingin terlihat  DOMINAN.





Kisah ini memang sangat sederhana, tapi mungkin terjadi juga di lingkungan kita. Semoga memberikan manfaat : ))




Siang ini Akbar adikku yang sedang kuliah semester akhir jurusan advertising menghampiriku yang tengah menyelesaikan sebuah postingan di Blog baru. Mukanya agak sedikit masam, sepertinya dia ada masalah . 


Dia belum berkata apa – apa saat iseng melirik apa yang aku ketik di  monitor. Aku bisa membaca perasaannya, lalu memberi sinyal berupa senyuman yang tandanya aku siap menerima curhatnya. 


” Kakak... Sudah seminggu  aku magang di Shoot Magazine, cari pengalaman kerja sekaligus memperbanyak ilmu. ”
” Oh ya.. bagus dong...”
” Iya kak.. tapi ada hal-hal yang buat aku sedih dan kadang sakit hati, ini sangat berpengaruh di proses belajarnya.” 
"Tentang apa itu ? ”
” Tentang sikap senior yang dipercaya oleh manajer untuk membimbingku. ”


” Hm... ada apa dengan si senior ?”
” Jadi begini kak, mulanya aku sangat yakin dia senior yang bisa kujadikan tempat belajar... tapi pada hari pertama semua harapan itu pupus, aku dengan sopan minta diajarkan mengerjakan salah satu jobdesc stidaknya diberi arahan singkat. Tapi... sungguh kak, dengan terang- terangan dia menolaknya. Tanpa melihat mukaku, sembari berjalan sok sibuk dia bilang agar aku lihat saja dari karyawan lain, kalau mau belajar padanya nanti - nanti saja karena aku toh masih lama di sini. Sebenarnya, dia tak terlalu senior juga sih kak, cuma dia sudah 6 bulan kerja disitu dan dirasa pantas membimbing anak- anak magang, tapi manajer juga menegaskan anak magang bukan bawahan yang dimanfaatkan untuk pendelagasian tugas senior. Itu aturan manajer yang berlaku. ”
” Setelah itu.. apa yang kamu lakukan ?”
” Aku mencari jawaban dari karyawan lain, melihat mereka bekerja . Meraba- raba seperti orang paling bodoh , dan aku tak yakin mendapat jawaban yang benar. Lebih menyakitkan lagi, seniorku bilang kepada manajer kalau dia sudah sangat mengarahkanku.”


” Lalu... masih ada lagi perlakuan seniormu yang tidak kau suka Dik ?”
” Iya Kak... ketika aku sering bertanya tentang suatu aturan, pekerjaan, prosedur , dan hal-hal penting lainnya dia selalu bilang tidak tahu dan menyuruhku cari sendiri di buku panduan. Alhamdulillah aku mendapatkannya dari buku panduan. Tapi yang aneh adalah saat aku tidak bertanya tapi kebetulan ada orang lain terlebih ada manajer yang sedang inspeksi, dia tiba-tiba muncul lalu menjelaskan keras-keras seolah aku ini anak paling bodoh yang tidak tahu apa-apa dan dia itu master yang paling tahu setahu tahunya. Padahal sebenarnya selain aku tidak bertanya, aku juga sudah tahu jawabannya. Dan setelah itu Manajer memuji-muji penjelasan yang ia berikan padaku.”


” Waw betapa lucu seniormu itu dik...”
” He he he..iya kak, tapi dia hebat ya kak bisa selalu dipandang cerdas oleh lingkungan. Ada lagi nih kak, yang lebih seru... Manajer menugaskan seniorku untuk mencari ide sebuah strategi pemasaran untuk terbitan bulan depan. Dan yang senior lakukan adalah menyuruhku mencari ide. Aku pun seharian mencari inspirasi, duduk browsing sambil sesekali cari inpirasi di mall sebelah kantor. Sementara dia sibuk flirting dengan tamu – tamu manajer, sharing berbagai pengalaman yang sudah ia siapkan semalaman . Jujur, aku ingin berada di situ ingin sharing tentang pengalaman-pengalaman serta ide-ide yang ada di otakku. Alhamdulillah, tak mengapa... yang penting aku bisa mendapatkan ideku, walaupun akhirnya Manajer hanya tahu kalau itu ide senior yang ia pandang sebagai sosok yang sangat perfect.” 


"Hehehehee..menarik sekali pengalaman mu Dik...terus terus ?”
” Iya kak, yang terakhir entah kenapa saat manajer menyuruhnya membereskan komplain para pelanggan, malah aku yang ditaruhnya sebagai tumbal. Alhasil akulah yang sibuk pontang-panting mengurus para pelanggan. Alhamdulillah nya..aku bisa mengatasi itu dan mendapat pengalaman berharga dalam menyelesaikan masalah. Pelanggan teratasi, senior pun mendapat reward dari manajer.Tapi yang kasihan adalah anak magang lain yang juga diperlakukan seperti aku..ada beberapa yang kinerjanya benar-benar jadi menurun karena ga tau harus berbuat apa. "


” Adikkk... kalau sudah kau puas bercerita..bolehkah kakak memberikan sedikit pendapat ?”” Tentu kakak, itu yang aku tunggu. ”
” Begini dik... dalam sebuah perusahaan, yang dibutuhkan memanglah orang- orang yang memuaskan para bos nya karena tujuan dari bosnya itu adalah target yang tercapai. Kadang bos tidak sempat menelusuri siapa yang seharusnya melakukan tugas yang ia amanahkan. Jadi selama orang yang ia tahu harus meneyelesaikan tugasnya itu berhasil membantunya mencapai target, orang itulah yang akan mendapat pandangan positif. Walaupun orang tersebut melakukannya dengan cara yang kurang sesuai, sedikit menjilat dan mendepak yang lain . Sekali lagi yang dibutuhkan pada level-level seperti itu adalah orang yang bisa ”tampil”, bisa ”menyenangkan” walaupun dilakukan dengan ”menekan yang lain ” dan sedikit ”menjilat”. Karena sesungguhnya semua orang itu suka sesuatu yang ”semu.” Orang suka ”disenangkan” dan orang suka ”dijilat”. Karena memang hal- hal semu seperti itu terasa menyenangkan. Mungkin tidak semua dik.. tapi kebanyakan seperti itu karena memang sifat dasar manusia suka disenengin...apalagi dibantu menyelesaikan targetnya. Sekarang tinggal adik yang bersikap, kelak akan mengikuti tingkah laku sang senior untuk berlaku semu dan memberikan kesenangan semu, atau berjalan di rel yang benar dengan hasil yang mungkin lebih lama.. tidak bisa instan..karena kontribusi adik akan tampak di suatu saat yang sangat tepat tapi butuh waktu lebih lama. Semua indah pada waktunya.  Ya lebih lama karena akan berjalan secara alami, lebih bertahan.... tidak manis di awal saja. Dan menunggu sikap semu yang lama-lama lelah sendiri, pudar... lalu memeperlihatkan tingkah alami adik, kontribusi adik yang sebenarnya. Dan sikap-sikap seperti itulah yang dimiliki pemimpin-pemimpin di level puncak, yang memimpin dengan filosofi, hati dan nuraninya.Kalau kakak boleh menyarankan , rajinlah berucap Alhamdulillah . Jangan minder kalau senior lebih diterima, lebih dipuji, lebih dinilai baik. Adik juga akan diperlakukan seperti itu kok suatu saat kelak karena adik benar- benar berkontribusi. Ucapkan Alhamdulillah karena adik bersungguh tidak akan pelit ilmu suatu saat bila ditanya, tidak seperti senior mu itu. Ucapkan Alhamdulillah karena adik tidak perlu memberikan pencitraan kalau adik pintar sampai harus menjelaskan keras-keras di hadapan orang-orang seperti yang senior lakukan. Alhamdulillah, adik punya aktualisasi yang lebih hebat dari sekedar pencitraan. Adik sabar dan senantiasa berusaha. Ucapkan Alhamdulillah karena adik tidak menjilat orang lain dan tidak mencuri ide orang lain seperti yang senior lakukan. Dan perlu adik ketahui apabila jadi pemimpin kelak : Bahwa LEADER yang sesungguhnya adalah seseorang yang bisa MENGEMBANGKAN orang lain yang berada di atasnya,  di bawahnya , terutama di kanan kirinya... bila hal  itu tidak terjadi.. maka Ia hanyalah orang yang ingin terlihat  DOMINAN.










Sang adik pun kini tersenyum lega dan berterimakasih pada kakaknya.
: ))))



Malaikat Juga Tahu..
Siapa yang Jadi Juaranya....


Namanya Rudi, 21 tahun , aktivis himpunan mahasiswa jurusan Teknik Sipil dan seorang atlet football di kampus . Rudi seorang mahasiswa extrovert yang aktif dan pandai bergaul. Prestasi akdemik, organisasi maupun keolahragaan mampu membuat semua rekan salut padanya.

Semester enam ini adalah semester yang sangat menggembirakan untuknya, selain prestasi yang terus menanjak,  dia kini menemukan kekasih pujaan hatinya, seorang gadis cantik dari fakultas kedokteran. Gadis lembut , berkerudung dan sangat mempesona mata dan hati Rudi. Namanya Larasati, biasa dipanggil Laras.

Rudi tampak sangat bangga mendapatkan calon dokter yang cantik itu, dia memperkenalkan pada semua kawan dan terutama keluarganya. Alhamdulillah, Laras bisa diterima di kalangan pergaulan Rudi , juga diterima oleh kedua orang tua Rudi. Bagi orang tua Rudi, yang penting Rudi bahagia, dan gadis itu adalah gadis solehah.

Kemanapun pergi, Rudi selalu publikasi kalau ada gadis pujaan hatinya di sebelahnya. Ia ingin semua orang tahu kalau ia berhasil merebut hati gadis itu. 

Laras juga sangat bangga mendapatkan kekasih seperi Rudi. Laras suka cowok eksis dan populer seperti Rudi, Hal itu membuat dirinya lebih bersemangat dan percaya diri. Setiap hari, Laras membawakan masakan untuk Rudi, menyempatkan menemui Rudi untuk memberikan kejutan-kejutan kecil yang membuat pemuda itu merasa sangat spesial.


Suatu ketika, keduanya menikmati weekend bersama dengan menonton sebuah konser jazz di kampus. Mereka menikmati moment itu dengan sangat bahagia. Mengabadikan setiap kebersamaan dengan kamera ponsel mereka. Tawa, bahagia seolah akan selamanya mereka bersama.
Sayangnya, tengah malam setelah konser usai ... kala Rudi mengantar Laras pulang ke rumah.... musibah yang tak disangaka- sangka menghampiri mereka. Mobil yang dikemudikan rudi ditabrak sebuah truk malam yang pengemudinya mabuk. Sungguh sebuah musibah menyedihkan karena gara-gara kecelakaan tersebut kaki kanan Rudi Lumpuh. Alhamdulillahnya, Larasati selamat dalam kecelakaan itu. Ia hanya terluka dan bisa pulih seperti sediakala.


Kini, akibat kelumpuhannya, Rudi berubah. Ia terpukul. Ia harus berjalan dengan tongkat pembantu, ia tidak bisa bergerak cepat, dan kegiatannya pun sangat terbatas. Bahkan yang lebih menyedihkan ia tidak bisa lagi bermain football bersama tim nya.

Untungnya, Laras selalu ada menemani Rudi. Dengan penuh kesabaran, Laras membantu Rudi terapi, menemani Rudi bila Rudi harus keluar dari rumah.

Tak berapa lama, semangat Rudi kembali bangkit. Karena dasarnya ia sangat percaya diri, ekstrovert dan mudah bergaul makan semua nya kembali normal. Ia tak peduli kalau ia lumpuh, ia melaju seolah dirinya sempurna, ia akin bisa melakukan kebiasaan seperti mahasiswa lainnya. 

Tapi sayangnya, di saat ia kembali bangkit tiba- tiba banyak sekali berita buruk yang ia dengar. Ia dengar dari teman-temannya kalau Laras sering kepergok jalan berdua dengan pemuda lain.
Awalnya , Rudi tidak percaya karena yang ia tahu Laras masih setia menemaninya.

Sampai suatu saat, ia membaca buku harian Laras yang tidak sengaja tergeletak di atas tasnya.
Perlahan Rudi membacanya sampai pada suatu halaman yang mengatakan bahwa Laras memang tidak mau kehilangan Rudi, Laras tidak mau kehilangan Rudi karena ia tidak ingin kehilangan seorang pemuda berprestasi yang menaruh kekaguman padanya.Bukan karena rasa sayang Laras pada Rudi. Yang kedua, keluarga Laras tidak mengijinkan putrinya menjalin hubungan serius yang bisa berujung pada pernikahan dengan seorang pemuda yang lumpuh. Cacat.  Di luar sana banyak pemuda yang lebih sempurna dari pada Rudi, maka Laras mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki lain.


Rudi terkejut membaca tulisan itu. Ia mendesak Laras untuk jujur padanya. Tapi Laras hanya diam kemudian pergi meninggalkan Rudi. 


Sementara itu Ibu dan Ayah Rudi juga sangat sedih melihat hubungan anaknya hancur. Ibu merasa sangat bersyukur ada seorang gadis solehah dan cantik rupawan mau menjadi kekasih putranya yang lumpuh. Maka dari itu walaupun mungkin Laras sendiri tidak memberikan komitmen dan lebih parahnya keluarga Laras tidak ingin putrinya dekat dengan Rudi yang lumpuh. Ibu tetap ingin mempertahankan hubungan mereka. Selain sebagai penyemangat Rudi, tentu juga sebagai calon istri Rudi kelak.


Akhirnya, Ibu melakukan pembagian tugas.
Ibu mengutus Tishah, adik perempuan Rudi untuk membujuk Laras agar segera mengeluarkan komitmennya. Sedangkan Ibu dan Ayah menemui orang tua Laras untuk meluluhkan hati mereka, dan berjanji akan membahagiakan Laras.

Rudi mengetahui rencana itu. Ia galau dengan perasaanya. Di suatu sisi, ia tidak tega hanya gara-gara dia keluarganya jadi repot merendahkan diri di hadapan keluarga Laras. Tapi, di sisi lain karena ia sudah dibutakan dengan kecintaannya kepada wanita, ia justru senang keluarganya mengambil langkah seperi itu. Ia berharap keluarganya berhasil membawa Laras padanya.

Ibu dan Bapak Rudi, dengan segala kelapangan dan kesabaran akhirnya menemui orang tua Laras untuk memohon ijin agar Laras bisa menjadi pendamping Rudi. Namun, setelah perjalanan jauh yang melelahkan dan diliputi hati yang sedih ... yang diadapat hanyalah cacian yang menyakitkan hati Ibu dan Bapak Rudi.
Kesimpulannya, menurut orang tua Laras , Rudi hanyalah benalu untuk masa depan putri kesayangan mereka.

Akhirnya, Ibu dan Bapak Rudi kembali mengendarai mobil mereka menuju rumah mereka. Di sepanjang perjalanan Sang Ibu hanya menangis karena sakit hati dan juga karena kasihan kepada putra kesayangannya yang harus menerima ujian berat.

Diperjalanan, tibalah waktu solat dhuhur. Mereka menyempatkan solat dan berdoa sepenuh hati mohon petunjuk dari Allah SWT.
Sungguh doa adalah media yang paling tepat menghubungkan antara kita dan Allah. Hingga dalam waktu singkat sang Ibu pun mendapatkan suatu pencerahan.

Tiba- tiba ia sadar, kalau ternya ia telah meremehkan anugerah terindah dari Allah yang ia titipkan padanya. Anugerah itu adalah Rudi . Seorang pemuda yang berprestasi di segala bidang yang kini harus menderita kelumpuhan. Lantas apakah ada yang salah dengan kelumpuhan itu ?? Sampai-sampai sang Ibu  menutup mata bahwa masih terbuka kemungkinan kalau Rudi tentu bisa sembuh atas ijinNYA, Rudi masih bisa berprestasi atas ijinNYA, dan bukan dengan cara mengiba yang secara tidak langsung meremehkan potensi Rudi, sang anak kebanggaan.

 Secara tak langsung Sang Ibu telah merendahkan anaknya sendiri dengan berpikir bahwa tidak ada lagi gadis lain yang bisa menjadi pendamping Rudi, kecuali Larasati. Larasati harus dipertahankan karena mana mungkin ada lagi gadis cantik yang mau dengan Rudi, Larasati harus dipertahankan. 

Sang Ibu terdiam, ia merasa mengambil keputusan yang salah. Seharusnya ia melepas Larasati saja, karena bukanlah kecantikan , maupun gelar dokter yang dibutuhkan sebagai pendamping Rudi. Melainkan hati yang tulus dan komitmen yang berani. Dan tentu saja gadis seperti itu akan ada banyak di luar sana. Gadis yang lahir bathin mencintai Rudi, membesarkan hati Rudi dan nantinya akan menjadi pendamping yang memajukan Rudi.


Sang Ibu kembali ke mobilnya, Bapak berada di kursi kemudi.
Keduanya masih belum banyak bicara. terdengar alunan lagu Adele.... di bagian lyric : Never mind I'll find someone like you... "

Menggambarkan suasana hati sang Ibu yang yakin bahwa putranya akan baik- baik saja... 
Never mind You'll find someone better than her

Sang ibu membathin penuh keyakinan di dalam hatinya.


Waktu demi waktu berlalu, hari berganti munggu, minggu berganti bulan
Ibu terus membimbing Rudi dengan kesabaran. Membantu anak itu terapi berjalan, serta memotivasi secara spiritual agar Rudi bangkit kembali. Terlebih saat ada berita yang mungkin menghempaskan Rudi lagi ke tanah, yakni pernikahan Larasati dengan teman Rudi .


Syukurlah, Ibu selalu ada disaat saat terburuk Rudi, senantiasa memberikan ketenangan, nasihat, menampung kesedihan serta sangat rajin berdoa agar Rudi menemukan pendamping sejatinya.


Allah adalah apa yang hambanya sangkakan kepadaNYA.

Sang Ibu selalu berbaik sangka pada Allah, ia percaya kebesaran Allah, sampai suatu hari harapan itu pun mulai tampak terwujud.


Seorang gadis bernama Syifa tengah dekat dengan Rudi. Syifa rajin mengantar ibunya terapi jalan karena sang ibu mengalami cedera akibat terjatuh di kamar mandi. Sementara itu Rudi juga rajin melakukan terapi di tempat yang sama. Ibu Rudi dan Ibu Syifa justru bersepakat menjodohkan kedua anak mereka.
Ibu Rudi melihat bahwa Syifa adalah gadis sabar yang sangat berbakti pada ibunya. Sementara ibu syifa melihat Rudi sebagai pemuda yang gigih dan tabah.


Allah mengabulkan prasangka-prasangka baik hambanya.
Rudi dan Syifa resmi menikah setahun kemudian dengan perasaan saling menyayangi satu sama lain. Syifa sangat sabar membantu Rudi memulihkan kakinya, dan kini Rudi sudah tidak lumpuh lagi , ia telah sembuh.


" Syifa,,, terimakasih... ini semua karena buah kesabaranmu. "
Ucap Rudi pada Syifa.

Gadis berjilbab yang jelita itu pun menjawab.
" Rudi... berterimakasihlah pada Ibu mu.. jauh sebelum kita bertemu..Ibu mu lah yang selalu ada untuk membangkitkan mu... dia ada saat yang lain meninggalkanmu... dan ia rela mengorbankan semuanya untukmu. Ia kerahkan hidup dan doanya untuk mu, anak kebanggannya. Sedangkan aku hanya meneruskan perjuangan ibumu.... Rudi,,.... sekali lagi.. berterimakasih lah pada Ibumu... dalam urusan siapa yang paling mencintaimu di dunia ini.... tak usah kau ragukan lagi... Malaikat juga tahu... siapa yang jadi juaranya.. dialah IBUMU. "