Jumat, 29 Juni 2012





 " Doa Sang Guru Di Ujung Senja " 




Bahwa syukur yang sejati adalah sikap senantiasa mengembangkan diri atas potensi yang di anugerahkan Sang Kuasa. Bukan berhenti begitu saja.


Pembaca yang berjiwa besar, Alhamdulillah nih akhirnya saya nge Blog. Sebenarnya sudah lama ingin nulis. Setiap kali melek mata, kerja di kantor, mau tutup mata yang ada cuma pengen nulis. Yap menuliskan curhatan teman, pengalaman pribadi, serta fakta-fakta  yang saya dengar , lihat dan rasakan.

 Maklum namanya juga passion jadi ya selalu menggebu dan ga bisa cuma sekedar buat sampingan. Saya suka mengemas tulisan dalam bentuk cerpen supaya tidak terlalu vulgar


Okee... yuk mulai, cerpen pertama " Doa Sang Guru Di Ujung Senja " . Semoga menginspirasi.. Bismillah....




" Doa Sang Guru Di Ujung Senja " 


Seperti biasa, aku duduk di bangku coklat bersebelahan dengan istriku. Dari barat sisa-sisa oranye matahari masih membelai lembut kulit tua kami. Membuat pipi kami sedikit silau. Sementara sepoi angin sore masih terasa juga menyejukkan leher kami. 


Ada bau wangi bunga-bunga di taman ini yang mengiringi cerianya Afifah cucuku yang berlarian mengejar kupu-kupu. Aku dan Aisyah istriku, tersenyum bahagia melihat keriangan bocah itu.


Aku adalah seorang guru sekolah dasar, usiaku menginjak 55 tahun. Berarti sudah sekitar 30 tahun lamanya aku menjalani profesi yang nyaman tentram sebagai seorang guru. Aku sangat bersyukur walau gajiku pas-pasan , namun pekerjaan sangat sesuai dengan apa yang aku harapkan. Tidak banyak tekanan di sini, berangkat pagi memberikan materi yang sudah sangat kuhapal pada para siswa, lalu pulang lagi di sore hari dan disambut keluarga yaitu istri tercinta yang penurut dan penuh kasih sayang. Dibelainya aku dengan lembut menenangkan dari sedikit pegal -pegal kecil, dan menghangatkan dengan teh ternikmat yang ia buatkan untukku. Aku juga memiliki anak tunggal bernama Hendra, seorang anak penurut dan tidak neko-neko selalu ranking pertama dan sering mendapat beasiswa . Sekarang bekerja sebagai staff administrasi di sebuah perusahaan di Bandung dan sudah punya satu anak berusia dua tahun yakni Afifah.

Sungguh aku sangat bersyukur bisa berkecukupan dan merasa sangat nyaman dengan hidupku , bersama istri , anak dan cucu yang sangat aku sayangi.


Sudah dua bulan ini, aku selalu mengajak Aisyah dan Afifah menikmati senja di taman di dekat kompleks rumah tepatnya di wilayah Lengkong Besar, Bandung.

Aku dan Aisyah duduk memandangi bunga-bunga, capung, kupu-kupu sembari mengamati Afifah berlari-lari ceria di sana.


Begitulah kebiasanku akhir-akhir ini. Kebiasaaan yang selalu sama seperti yang kulukiskan tadi. Sampai pada kemarin sore aku tidak lagi duduk berdua bersama Aisyah. Istriku itu sedang asyik menemani Afifah, dan disebelahku duduklah sahabat lama ku bernama Lukman.


Lukman adalah sahabat seperjuangan saat kuliah di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu  Pendidikan ) Negeri Yogyakarta 25 tahun lalu. Kami ini sama-sama perantau yang berjuang hidup memenuhi biaya makan dan biaya kuliah. Aku anak penjual gorengan dari Bandung, sedangkan Lukman anak pembuat tempe kedelai dari Magelang. Bedanya adalah Lukman orang yang sangat aktif ikut berbagai organisasi, sedangkan aku hanya sama dengannya dalam hal sibuk kerja paruh waktu untuk mendapatkan uang. Lukman sambil berjalan diatas sepatu butut yang membuat kakinya itu terasa sakit selalu saja mengoceh tentang impiannya menjadi kaya raya dan bisa membangun yayasan pendidikan. Dia sudah memetakan hidupnya secara berjangkan limat tahunan sampai akhirnya muncul target dia meraih mimpi itu di usia 30 tahun. Kala itu aku hanya memandangnya sebagai orang sinting yang kadang takabur, membual dan sok mengambil risiko. 
Mana ada anak pembuat tempe yang beli sepatu saja tidak mampu bisa jadi pemilik yayasan, mimpii kali yeee... kalau jadi guru iya lah kan kuliahnya di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu  Pendidikan ). hehehe

Kami lulus bersama dari IKIP, lalu kompakan jadi guru SD di Bandung. Sampai pada tahun kedua jadi guru, dia mengajak ku nekat ikut program jadi pengajar di pedalaman.

”Ayolah Taufan.... kita pergi merantau mumpung kita ini masih bujangan. Lihat lah di sini sudah banyak guru-guru baru yang juga hebat yang bisa mengajar murid-murid dengan baik juga. Biarlah regenerasi itu ada. Dan kita pergi untuk  kontribusi yang lebih besar dan menantang. Ayolah Taufan...di seberang laut sana anak- anak yang tidak tahu ke sekolah harus pakai seragam sedang menunggu kita. Menunggu kita untuk untuk membantunya selamat dari nasib sekedar penambang emas sakit-sakitan menjadi profesional hebat yang ditunggu negeri kita. Akan ada pemimpin –pemimpin dari populasi itu, dokter-dokter bebas mallpraktek, insinyur canggih serta entrepreneur yang mengimpor TKI (Tenaga Kerja Inggris ) dan TKW ( Tenaga Kerja Washington ) untuk menjadi karyawannya. Ayolah Mohammad Taufan Gumilar....”


Kala itu aku sungguh ingin berangkat. Hatiku tergerak. Aku juga punya darah juang, darah muda seperti yang tersirat di nada ajakan Lukman. Tapii.. waktu tidak bisa menunggu keraguanku. Lukman segera berangkat mengejar jadwal program pengajar itu dan aku tetap tinggal menjadi guru di SD.


Dan setelah bertahun lamanya, kini ia kembali datang di kehidupanku.

Setelah sebelumnya aku melihat profile nya dimajalah sekolah. Ia sudah berhasil meraih jejak-jejak peta hidupnya. Seorang pejuang muda yang dipercaya seorang petinggi negeri 25 tahun lalu untuk mengemban amanah menjadi seorang pengajar di pedalaman. Yang ternyata juga berbisnis untuk mengembangkan pundi- pundinya. Karena pada faktanya hanya dengan uang lah batu bata bisa di beli untuk mendirikan sekolah- sekolah kokoh dan aman untuk anak-anak belajar.


Aku bercerita tentang kehidupanku selama menjadi guru di sini. Kehidupan nyaman dan bahagiaku melalui pekerjaan rutin yang stabil, suka cita, dan mencukupi keluarga. Aku sangat Bersyukur.  Lukman berkaca-kaca , ia tampaknya bangga.... ia melihat mataku... dalam..tajam..merasuk...lalu menepuk nepuk pundakku sembari berkata : 
“ Aku salut padamu kawan...kau seorang pengabdi hebat. Setidaknya jutaan manusia kau beri ilmu dan pasti sukses di luar sana. “

Aku tersenyum menerima pujiannya.


Lalu detik berikutnya aku balas bertanya ingin tahu kegiatan apa yang tengah ia lakukan di Bandung.

“ Aku kesini untuk mengambil 2 orang tak mampu yang akan aku jadikan siswi beasiswa penuh di Yogyakarta. Kebetulan aku membuka sekolah baru di sana. Salah satu anak ini, tidak bersekolah karena orang tuanya lebih butuh tenaganya jadi penjual gorengan untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Yang satu lagi sudah bersekolah , berasal dari keluarga tidak mampu , tapi punya potensi luar biasa yang bisa aku kembangkan di sekolahku.”

Lukman menjelaskan dengan suara bijaknya.

” Oh ya ? Lantas siapakah dua bocah itu ? Dimana ia tinggal Man ?” Tanyaku antusias.

“ Yang pertama Mega, yang kedua Syahrini, keduanya tinggal di komplek ini juga di jalan rana,  di rumah kecil sangat sederhana.”


Tuhaaannn... Ya Rabb... Astaghfirullah.... kali ini ak gantian yang menatap mata Lukman dengan sangat dalam, dan mataku berkaca- kaca . Hatiku tertusuk saat mendengar penuturan terakhir Lukman.


Ya, aku mengenal dua bocah itu. Mega adalah tetanggaku, sedangkan Syahrini selain tetangga juga muridku. Ada apa ini ? Mengapa perasaanku jadi aneh. Aku menyandarkan punggung ke bangku. Wajahku kini sedikit tertunduk, aku mengalihkan mata dari memandang Lukman lalu memandang rerumputan di bawah sana. Yang terbayang di otakku, adalah saat beberapa lalu aku menceritakan tentang betapa bersyukurnya aku dengan kehidupan serba berkecukupan ini. Sekarang muncul suara-suara di otakku....bertanya apakah aku benar – benar bersyukur ? Apakah ini wujud dari sikap syukur ? Atau aku hanya terjebak di sebuah zona nyaman? Dimana aku takut untuk melangkah, lalu menutup pasrah dan menyerah dengan berkedok pada kata syukur yang terdengar amat mulia. Padahal salah penerapaannya.

 Tidaaakk...ini bukanlah syukur , ini benar- benar sebuah tirai tempat bersembunyi dari rasa malas, malas dan takut dan enggan untuk keluar dari zona nyaman. Aku terjebak dalam zona nyaman sampai- sampai dua bocah dipelupuk mata yang perlu mendapat uluran tangan saja aku buta terhadapnya. Aku buta karena terlalu menikmati jebakan ini, di saat aku mencukupkannya dengan batasan dinding rumah dan hanya dinikmati keluarga. Keegoisan ini muncul hingga mengulurkan tangan pada orang yang paling dekat di luar dinding keluarga pun tidak.


“There is no growth in comfort zone and there is no comfort in growth zone. I must leave my comfort zone to grow”. Muhammad Assad


 Begitulah tulisan di lintingan kertas yang kutemukan di kelas kemarin siang, yang sekarang aku yakin itu tulisan Syahrini , entah dia dapat kutipan itu dari mana, yang jelas sekarang aku tahu bocah kelas tiga SD  itu punya potensi besar dalam bahasa Inggris.


Seharusnya aku sadar... Tuhan telah mengkaruniakan kesehatan fisik, dan kecerdasan akal yang tak  terkira jumlahnya. Bila aku tidak memaksimalkannya bukankah sudah jelas aku menyalahi anugerah Tuhan?


Lalu apa bukti konkrit dari kalimat bijak yang sering ku tulis di papan tulis untuk di baca para murid “ Sebaik- baiknya orang adalah yang bermanfaat untuk orang lain “

Bila kutanyakan pada ribuan orang tentu mereka menjawab aku telah bermanfaat untuk banyak orang. Termasuk Lukman yang terang-terangan memujiku sebagai pengabdi yang hebat.


Tapi.. ini bukan tentang tanggapan orang yang sekilas.
Ini tentang pertanggungjawabanku dengan diriku sendiri, tertinggi lagi pada Sang Kuasa.
Tentang tersadarnya aku yang menyalah gunakan  kemuliaan kata syukur. 

Bahwa syukur yang sejati adalah sikap senantiasa mengembangkan diri atas potensi yang di anugerahkan Sang Kuasa. Bukan berhenti begitu saja.

Aku.... mungkin tidak menyadarinya... saat menjelaskan di depan kelas.... Syahrini  mungkin sedang memperjuangkan perut perihnya yang keroncongan , mungkin ia berkata “ Bapak...saya lapar...”. Mungkin pikirnya sedang melayang ke rumah dan ia pun menjerit dalam hati.. “ Bapak.. adik saya terbaring sakit di rumah. “ Dan mungkin saat ia mulai menulis dalam bahasa Inggris ia juga berkata “ Bapak... kemarilah sejenak ke bangku saya... lihat apa yang saya tulis , hasil mempelajari buku grammar loakan “


Aku... mungkin tidak menyadarinya... saat setiap sore berbagi bahagia bersama Aisyah dan Afifah.. Mungkin Mega lewat melihat kami sembari menyunggi baskom berisi gorengan di kepalanya, lalu ia berkata dalam hati “ Bapak...saya juga ingin bersantai setiap sore seperti keluarga bapak...”


Begitulah dan begitulah hingga akhirnya saya menangis tersedu- sedu. Sesaat lalu saya menceritakan Mega dan Syahrini kepada Lukman. Ia sangat mengerti persaan saya.

Ia menenangkan saya dengan tepukan – tepukan di pundak dan berulangkali mengucapkan bahwa saya pengabdi yang hebat . Sejujurnya julukan itu lebih tepat diberikan untuk Lukman.


Tapi... sekali lagi ini bukan tentang tanggapan orang yang sekilas. Bukan tentang pujian Lukman yang membesarkan hati saya.

Ini tentang pertanggungjawabanku dengan diriku sendiri, tertinggi lagi pada Sang Kuasa.

Tentang tersadarnya aku yang menyalah gunakan  kemuliaan kata syukur. Bahwa syukur yang sejati adalah sikap senantiasa mengembangkan diri atas potensi yang di anugerahkan Sang Kuasa. Bukan berhenti begitu saja.


Aku memeluk Afifah.

Lalu di senja yang berbeda dengan senja- senja sebelumnya, aku membisikkan kalimat yang belum dimengerti bocah 2 tahun itu. Sebuah doa. 

“ Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Keluarlah dari zona nyamanmu. “

Semburat kilau senja yang menenangkan, bunga-bunga harum yang tertiup angin serta kupu- kupu yang beterbangan di atas kepala Afifah seolah mengamini apa yang aku ucapkan.


Dan yakinlah aku kalau TUHAN  PASTI MENGABULKAN. 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar